Membaca Kebijakan Presiden Joe Biden di Bidang Perpajakan dan Pengaruhnya Terhadap Indonesia
Oleh : Galih Ardin, DJP
Hari Rabu 20 Januari 2021 lalu menjadi sebuah hari besar bagi warga Amerika Serikat. Pada hari itu, Presiden Amerika terpilih, Joe Biden, dilantik menjadi Presiden Amerika ke-46 menggantikan presiden sebelumnya yaitu Donald Trump. Setelah melalui perjalanan yang tidak mudah, presiden yang diusung Partai Demokrat Amerika tersebut akhirnya memenangi pemilihan yang telah diselenggarakan pada bulan November 2020 lalu.
Terpilihnya Joe Biden tersebut tidak hanya memberikan perubahan terhadap penduduk AS itu sendiri, namun juga bagi warga dunia. Bagaimana tidak, perubahan kebijakan negara dengan Gross Domestic Product terbesar di dunia tersebut seringkali mampu mempengaruhi kebijakan negara – negara lain termasuk Indonesia. Artikel ini akan membahas kebijakan apa saja yang akan di ambil oleh Joe Biden dalam bidang perpajakan dan apa pengaruhnya terhadap Indonesia.
Kebijakan Pajak Biden
Dalam artikelnya, Forbes (2021) menyebutkan bahwa di bidang perpajakan, Joe Biden berencana untuk melakukan beberapa perubahan substansial di lima area. Pertama, pemerintahan Joe Biden berencana untuk menaikkan tarif pajak penghasilan dari 37% ke 39,6% kepada Wajib Pajak orang pribadi (WP OP) Amerika (individual taxpayers) yang mempunyai penghasilan lebih dari USD400.000 dalam setahun. Menurut Hammelburger (2021), secara umum, kebijakan ini akan sangat berpengaruh pada kekayaan bersih Wajib Pajak AS namun di sisi lain kebijakan ini juga akan membuat ABPN negeri Paman Sam menjadi lebih feasible.
Kedua, menurut Forbes (2021), presiden Amerika ke 46 tersebut berencana untuk mengenakan pajak atas capital gain sebesar 39,6% terhadap long-term capital gain yang mempunyai nominal lebih dari USD1 juta dan menghapuskan step-up method dalam basis pemajakan capital gain. Sebagai informasi, menurut Forbes (2021), ketika seseorang Wajib Pajak AS meninggal dan mewariskan harta bendanya kepada kerabat maupun koleganya, step-up basis akan memberikan keuntungan pajak yang lebih besar bagi penerimanya. Sehingga, sampai di titik ini kita dapat melihat bahwa eliminasi step up basis akan mengurangi keuntungan yang diterima oleh penerima hibah maupun warisan karena harus membayar pajak capital gain yang lebih besar.
Ketiga, Biden berencana untuk membatasi pengurang penghasilan menjadi sebesar 28% yang meliputi pajak-pajak daerah, biaya kesehatan, bunga perumahan dan pengurangan lainnya (Forbes, 2020). Umumnya, di Amerika, apabila seorang Wajib Pajak dikenakan pajak sebesar 32% maka Wajib Pajak tersebut berhak untuk memperoleh pengurangan pajak sebesar 32%. Namun demikian, dalam proposalnya, Presiden Biden berencana untuk membatasi pengurangan pajak ini menjadi paling banyak sebesar 28%.
Keempat, menurut Forbes (2020), Presiden Biden berencana untuk meningkatkan pajak penghasilan perusahaan dari 21% menjadi 28%. Sebagai informasi, pada tahun 2017 pemerintah AS di bawah Donald Trump telah menurunkan tarif pajak penghasilan badan dari 35% ke 21% melalui Undang – Undang Tax Cuts and Jobs. Lebih lanjut, menurut EY Global (2021), Joe Biden juga berencana untuk menaikan pajak dari keuntungan yang diperoleh anak perusahan Amerika yang berlokasi di negara lain.
Kelima, Presiden Biden juga berencana untuk mengenakan pajak minimum sebesar 15% kepada perusahaan yang memperoleh membukukan keuntungan sebesar USD100 juta atau lebih. Menurut Scot (2021), kebijakan ini secara efektif akan mencegah perusahaan yang membukukan keuntungan lebih dari USD 100 juta untuk tidak membayar pajak.
Lebih lanjut, menurut Tax Foundation (2021) Biden juga berencana untuk mengenakan pajak sebesar 12,4% kepada lansia, penyandang cacat yang memperoleh penghasilan lebih dari USD400.000. Tax Foundation (2020) juga menyebutkan bahwa pemerintahan Biden berencana mengenakan pajak tambahan sebesar 10% kepada perusahaan yang memproduksi dan menjual barang jasanya di luar negeri. Kebijakan ini bertujuan agar perusahaan – perusahaan AS menjual barang dan jasanya di pasar AS sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, secara umum kita dapat melihat bahwa kebijakan perpajakan pemerintahan Joe Biden cenderung bersifat ekspansif dengan cara menaikan tarif pajak baik kepada Wajib Pajak yang berlokasi di AS maupun subsidiary yang berada di luar AS.
Berdasarkan data BKPM (2021), realisasi investasi AS serikat di Indonesia selama tahun 2011 sampai dengan 2020 adalah sebesar USD13 milliar yang tersebar dalam 4.402 proyek. Dibandingkan dekade sebelumnya, investasi AS di Indonesia ini mengalami peningkatan sebesar USD10 miliar (BKPM, 2021). Lebih lanjut, berdasarkan data BKPM (2021), dibandingkan dengan negara lain, investasi AS di Indonesia pada tahun 2011 - 2020 ini menduduki peringkat ke-7 di bawah Singapura, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Hongkong dan Belanda.
Menurut pendapat penulis, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menarik investasi dari AS karena kebijakan pajak AS yang bersifat ekspansif tersebut akan mendorong Wajib Pajak AS baik individual dan korporat untuk memindahkan kekayaan dan modalnya keluar dari AS. Apalagi, berdasarkan laporan terbaru dari Google, Temasek, Bain & Company (2021), Indonesia adalah negara dengan nilai digital ekonomi tertinggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar USD44 millar. Bahkan, pada saat pandemi seperti saat ini pun nilai digital ekonomi di Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 11%, dimana negara – negara yang lain justru mengalami pertumbuhan negatif (Google et al, 2021). Lebih lanjut, Google et al (2021) memprediksi bahwa nilai digital ekonomi Indonesia akan terus mengalami pertumbuhan sampai mencapai nilai USD124 milliar pada tahun 2025.
Kesempatan yang baik ini jangan sampai terlewat dan diambil oleh negara lain. Dalam hal ini, pemerintah dapat menggunakan kebijakan perpajakannya sebagai salah satu instrumen dalam menarik Foreign Direct Investment atau penanaman modal asing dari AS. Sebagai informasi, kebijakan perpajakan Indonesia pada dasarnya sudah cukup investor friendly terutama setelah terbitnya Undang – undang Cipta Kerja. Melalui Undang – undang Cipta Kerja, pemerintah memberikan tax allowance berupa penurunan tarif PPh Badan secara bertahap, tambahan penurunan PPh bagi Wajib Pajak Badan yang go public, penghapusan PPh atas dividen baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri sepanjang diinvestasikan kembali di Indonesia dalam jangka waktu tertentu serta penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga. Namun demikian, kebijakan perpajakan Indonesia belum secara spesifik memberikan insentif kepada pelaku digital ekonomi yang sebagian besar berasal dari AS.
Oleh karena itu, guna menarik investor AS utamanya di bidang teknologi informasi, pemerintah Indonesia dapat memberikan insentif perpajakan misalnya dalam bentuk tax holiday kepada pelaku digital ekonomi seperti Amazon, Facebook, Zoom, dll agar mereka mendirikan permanent establishment (PE) dan menanamkan investasinya di Indonesia. Tentu saja pemberian insentif tersebut harus diberikan secara selektif dan dievaluasi secara berkala agar memberikan same level field of playing dengan pelaku usaha di dalam negeri.
sumber : situs resmi kemenkeu
link : https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/membaca-kebijakan-presiden-joe-biden-di-bidang-perpajakan-dan-pengaruhnya-terhadap-indonesia/